Minggu, 18 Februari 2018

19 Cara Menghilangkan Belang di Wajah Paling Cepat dan Alami

1. Menggunakan Mentimun

Banyak orang yang sudah tahu bahwa mentimun dapat mengatasi masalah kulit, baik itu masalah kulit berminyak atau kulit kendur dan berkeriput. Bahkan untuk masalah kulit berjerawat serta belang pun mentimun dapat Anda andalkan.
  • Caranya: Sediakan sebuah mentimun beserta telur ayam sebutir saja. Mentimun perlu Anda bersihkan dan pisahkan dulu bersama kulitnya. Setelah itu, Anda bisa memblender mentimun untuk menghaluskannya. Sesudah halus, Anda dapat memasukkan putih telur ke dalamnya untuk diblender lagi agar tercampur rata. Lanjutkan dengan mengaplikasikan ramuan tersebut ke seluruh wajah, biarkan selama 25 menit agar meresap, lalu basuh menggunakan air dingin. Seminggu 3 kali adalah waktu perawatan terbaik.

2. Menggunakan Toner dari Cuka Sari Apel

Toner adalah yang biasanya digunakan sebagai pembersih sisa makeup atau kelebihan kotoran pada wajah. Untuk membuat belang di wajah pudar dan meratakan kembali warna kulit, toner yang terbuat dari cuka sari apel buatan sendiri akan memberikan khasiat maksimal. Sifat antibakterinya mampu menyeimbangkan pH kulit serta membersihkan total noda pada wajah.
  • Caranya: Sediakan cuka sari apel serta botol kaca kosong, lalu tuang sedikit cuka sari apel serta sedikit air untuk campurannya. Setelah tercampur, toner ini bisa digunakan dengan menggunakan kapas seperti biasanya Anda membersihkan wajah dengan toner biasa. Pemakaian bisa dilakukan setiap malam sebelum tidur, lalu keesokan paginya baru dicuci.

3. Memakai Jus Lemon

Menggunakan lemon kerap kali dijadikan sebagai cara memutihkan wajah secara alami, namun tak hanya itu saja. Jus lemon pun berkhasiat dalam mengatasi kulit wajah yang belang. Kandungan vitamin C-nya yang tinggi serta asam sitrat mampu menjadi pencerah kulit dan menyehatkannya sekaligus.
  • Caranya: Cukup siapkan 1 buah lemon untuk kemudian diperas ke dalam sebuah wadah atau mangkuk, Ambil kapas dan celupkanlah ke dalamnya, lalu aplikasikan ke wajah secara merata, tapi waspadai kena mata. Setelah kering, pakai air hangat untuk membilas wajah sampai benar-benar bersih. Lanjutkan dengan memakai pelembab atau tabir surya.

4. Memanfaatkan Gula

Gula dapat diandalkan sebagai eksfoliator atau pengangkat sel-sel kulit mati atau disebut juga pengelupas kulit. Bahan satu ini tak hanya dapat menjadi pemanis tapi juga mampu Anda jadikan sebagai scrub untuk memutihkan kulit wajah secara merata dan menghilangkan belang mengganggu.
  • Caranya: Tak sulit untuk menggunakan gula ini karena Anda hanya perlu mencampur gula bersama sedikit air lalu tambahkan ke krim wajah yang biasa Anda pakai. Campurkan dengan baik dan sampai rata barulah scrub dapat Anda oles ke seluruh wajah atau bagian belangnya saja. Diamkan dulu beberapa saat atau hingga kering, lalu akhiri dengan membasuh wajah menggunakan air hangat.

5. Menggunakan Gandum dan Madu

Gandum juga rupanya dapat menjadi bahan yang baik untuk menghilangkan belang pada wajah secara alami. Untuk lebih ampuhnya lagi, gandum dapat Anda campurkan bersama madu asli, dan pastikan bahwa madu yang dipakai benar-benar murni untuk memperoleh khasiatnya.
  • Caranya: Sediakan gandum serta madu asli, dan tak ketinggalan juga bahan lainnya sebagai pelengkap, yakni yogurt serta kacang almond secukupnya. Campur seluruh bahan dan tambahkan air matang secukupnya juga. Setelah merata dan sudah dapat dikatakan adonan basah, terapkan ke wajah secara merata. Tunggulah kira-kira setengah jam sebelum menggunakan air hangat untuk membasuhnya bersih.

6. Memanfaatkan Madu dan Susu

Masih ada lagi kombinasi bahan alami yang secara efektif dapat membuat kulit kembali berwarna cerah tanpa belang. Madu yang dipakai sebaiknya madu murni dan asli untuk dapat merasakan manfaatnya. Susu pun bisa memutihkan kulit wajah secara sempurna, jadi sediakan juga yang original.
  • Caranya: Kedua bahan utama tersebut bisa Anda campurkan bersama masing-masing secukupnya. Aduk-aduklah sampai bentuknya mengental, lalu terapkan ke area wajah yang terkena belang atau ke seluruh wajah juga boleh. Diamkan sekitar setengah jam agar kandungan serta nutrisi dari masing-masing bahan bisa terserap ke dalam kulit wajah. Sesudah itu, bilas wajah sampai bersih dengan air hangat.

7. Memakai Kentang

Tampaknya sudah banyak yang tahu tentang manfaat kentang untuk kulit wajah, tak terkecuali sebagai solusi kulit belang pada wajah. Meski wajah kelihatan belang karena sinar matahari yang jahat, perawatan dengan kentang akan mengembalikan kecantikan kulit Anda.
  • Caranya: Kentang harus dipotong lebih dulu, barulah Anda gosok-gosokkan ke area yang belang atau bahkan ke seluruh wajah. Atau, supaya lebih mudah penerapannya, Anda bisa menghaluskan kentangnya lebih dulu dengan memblender atau menggilingnya; mamarutnya pun juga boleh. Oleskan kentang ke area wajah sambil memberikan pijatan ringan dan lembut. Setelah itu diamkan dulu beberapa saat barulah dibasuh menggunakan air bersih.

8. Menggunakan Kunyit

Bubuk kunyit adalah yang lebih dianjurkan untuk perawatan wajah yang belang. Kalau biasanya kunyit mungkin diketahui mampu menghilangkan bulu pada wajah, kini kunyit bisa Anda manfaatkan sebagai solusi wajah belang. Untuk kulit merata sempurna serta cerah, bubuk kunyit merupakan salah satu bahan terbaik untuk itu.
  • Caranya: Ambil bubuk kunyit secukupnya yang kemudian dapat dicampur bersama perasan jeruk nipis atau air lemon. Campur sampai merata dengan cara mengaduk-aduknya dan bentuklah pasta dengan cara tersebut. Pasta ini bisa Anda terapkan ke bagian wajah yang gelap atau belang tersebut, lalu tunggu kering. Sesudah 30 menit, basuhlah wajah dengan air bersih.

9. Memanfaatkan Tomat

Tomat pada umumnya juga diketahui sebagai bahan yang bisa mencerahkan dan mengangkat sel-sel kulit mati. Maka tak salah bila Anda memilih tomat sebagai solusi wajah belang karena kandungan baiknya dapat diandalkan untuk memutihkan wajah secara merata. Selain itu pun tomat juga akan mengencangkan kulit.
  • Caranya: Yang perlu diambil adalah bagian airnya saja atau jusnya. Tomat yang sudah disiapkan dapat dijus lebih dulu tanpa diberi tambahan pemanis apapun, termasuk gula. Jus tomat inilah yang bisa Anda terapkan ke area wajah sampai merata sambil memijat-mijatnya. Tinggalkan selama sekitar 10-15 menit sebelum akhirnya dapat Anda bilas hingga bersih; lalukan perawatan secara rutin agar maksimal hasilnya.

10. Menggunakan Pepaya Mentah

Pepaya bukanlah buah sembarangan karena manfaat masker pepaya bagi kulit wajah sendiri sudah begitu banyak diketahui. Kandungan vitamin A dapat dijumpai dengan kadar tinggi di dalamnya berikut juga antioksidan yang begitu kuat. Kemampuannya dalam mengangkat sel kulit mati dan meregenerasinyalah yang bisa diandalkan.
  • Caranya: Supaya bisa menghilangkan belang pada wajah, pastikan Anda mengambil sisi buah pada kulitnya. Ambil kulit pepaya, lalu usap-usapkan ke wajah secara menyeluruh. Tinggalkan dulu sekitar 5 menit sebelum Anda melanjutkan perawatan dengan membilas wajah menggunakan air dingin. Bila lebih dari 5 menit, pepaya mampu membuat kulit Anda menjadi teriritasi atau kering.

11. Memakai Madu

Pasti sudah menjadi rahasia umum bahwa madu tak hanya sebatas baik untuk kesehatan tubuh, tapi juga untuk rambut dan kulit. Bahkan untuk menghilangkan belang pada kulit wajah yang sensitif, madu paling aman dan terjamin tanpa efek samping berbahaya.
  • Caranya: Ambil saja madu secukupnya yang kemudian dapat Anda campur dengan jus lemon sedikit, susu bubuk sedikit, serta ditambah almond bila ingin (ini opsional). Campuran yang sudah rata dan jadi dapat Anda terapkan ke kulit wajah. Tunggu saja sampai mengering dengan sendirinya, barulah Anda siapkan air hangat untuk membasuh wajah sampai bersih; ulangi setiap hari untuk hasil terbaik.

12. Menggunakan Yogurt

Yogurt memang dikenal sebagai salah satu bahan yang baik dan alami dalam memutihkan serta mengencangkan kulit. Bahkan kulit juga bisa jadi lebih halus berkat perawatan dengan yogurt tawar. Kabar baiknya, yogurt pun bisa dijadikan penghilang belang pada wajah secara efektif.
  • Caranya: Buatlah masker dari bahan yogurt ini supaya kulit lebih merata. Campurlah yogurt bersama dengan air secukupnya (biasanya 1 sendok teh). Aduk-aduk sampai tercampur seluruhnya dan terapkan ke area wajah, bahkan hingga leher. Diamkan kira-kira 30 menit, baru setelah itu Anda bisa membilas wajah; menggunakan air hangat lebih disarankan.

13. Memanfaatkan Baking Soda

Soda kue tentunya tak bakal ketinggalan untuk digunakan ketika membuat kue, tapi kali ini Anda bakal menggunakannya sebagai bahan perawatan wajah yang belang. Sebagai eksfoliator alami, baking soda dapat secara aman mengatasi kulit belang. Bahkan kulit pun bakal dibuat lebih cerah dan putih tanpa kerutan dan minyak.
  • Caranya: Buatlah pasta baking soda, yaitu dengan mencampur baking soda sesendok teh dengan beberapa tetes air atau boleh juga menggunakan air mawar. Aduk-aduk untuk mencampurkan kedua bahan. Sesudah terbentuk pasta, terapkan langsung ke area wajah hingga menyeluruh dengan gerakan melingkar selama 2-3 menit. Pengaplikasian sudah selesai, Anda dapat membilas wajah menggunakan air hangat, lalu keringkan.

14. Memakai Lidah Buaya

Mungkin tidak semua kasus kulit wajah belang itu dikarenakan jahatnya paparan sinar ultraviolet ketika berada di luar ruangan. Ada beberapa kasus kulit belang disebabkan oleh penyakit kulit, namun Anda tetap bisa menghilangkannya. Penyakit dompo atau penyakit kulit lainnya yang mengakibatkan kulit belang bisa Anda atasi menggunakan aloe vera.
  • Caranya: Seperti biasa, ambil sebatang atau 2 batang daun lidah buaya yang kemudian Anda potong dan kupas untuk bisa mengambil gelnya. Anda pun bisa mengambil dagingnya, lalu usap-usapkan secara merata ke bagian wajah yang belang tersebut. Tunggu kering sekitar 20 menitan sebelum Anda boleh membasuhnya. Lakukan 2-3 kali sehari secara rutin untuk hasil optimal.

15. Minum Air Putih

Air putih sudah terkenal baik sebagai cara mencegah kerutan di wajah karena mampu menghidrasi kulit secara luar biasa. Kulit manusia sendiri sebenarnya terdiri dari air sekitar 75 persen, jadi bila ingin kulit tanpa belang, keriput serta kering.

  • Caranya: Lupakan soal mengonsumsi minuman ringan, apalagi minuman bersoda dan beralkohol. Batasi minuman manis juga, dan perbanyaklah minum air putih. Anjuran paling sehat adalah minum sekitar 8-10 gelas saja per harinya. Bila ingin sedikit variasi, Anda dapat menambahkan irisan mentimun atau perasan lemon jika ingin mendapatkan kesegaran berbeda. Dijamin kulit bakal normal kembali pada warnanya.

16. Memanfaatkan Susu Mentah

Kalau sebelumnya ada rekomendasi menggunakan susu yang dikombinasikan dengan madu, Anda kali ini hanya perlu menggunakan susunya saja. Susu ini sendiri merupakan pemutih alami yang bisa melembutkan kulit juga. Susu pun merupakan bahan aman untuk menyingkirkan belang karena bekas luka, pigmentasi atau noda.
  • Caranya: Gunakanlah susu mentah atau susu yang belum mengalami proses perebusan karena khasiatnya dipercaya lebih besar. 2 sendok makan susu saja sudah sangat cukup, lalu jangan lupa terapkan ke wajah serta leher secara total memakai kapas. Diamkan dulu 20 menit agar nutrisi meresap, lalu basuh wajah dengan air hangat.

17. Menghindari Junk Food

Kulit belang apakah hubungannya dengan junk food atau makanan sampah? Konsumsi makanan tak sehat bisa memengaruhi warna kulit yang tak merata alias belang. Ini dapat dikarenakan banyaknya kandungan bahan kimia, gula serta minyak yang tinggi di dalam setiap makanan sampah. Membatasi konsumsinya atau menghindarinya sama sekali adalah langkah bijak.
Kandungan-kandungan jahat tersebut mampu memicu produksi minyak lebih banyak yang berpotensi penyumbatan pori-pori sehingga muncul kulit yang belang. Itulah mengapa Anda perlu mulai mengonsumsi sayurah serta buah-buah segar yang penuh nutrisi. Blueberry serta salmon adalah yang paling dianjurkan karena kaya akan antioksidan yang mengatasi kompleksi kulit.

18. Rajin Berolahraga

Tentunya ada segudang manfaat olahraga untuk kecantikan, termasuk juga kecantikan kulit wajah Anda. Dalam mengatasi dan menghilangkan belang pada wajah, latihan fisik juga diperlukan. Olahraga tak hanya mampu menurunkan berat badan dan membentuk tubuh supaya lebih ideal, tapi juga dapat meregenerasi sel-sel kulit baru sehingga mampu menjaga warna kulit merata.
Tidak usah melakukan latihan yang super berat seperti yang Anda bayangkan, karena latihan atau olahraga ringan saja sudah cukup. Olahraga ringan apa saja yang dilakukan selama beberapa menit dalam sehari dan menyebabkan Anda berkeringat sudah termasuk baik. Namun setelahnya, pastikan Anda mencuci wajah secara total agar bisa mencegah adanya kotoran menyumbat pori-pori.

19. Menggunakan Buah Jeruk

Buah sitrus satu ini memang terkenal mengandung kadar vitamin C tinggi yang efektif dalam memutihkan kulit. Sifat pemutih alaminya memang menjadi andalan, namun buah jeruk juga bisa menjadi solusi untuk yang ingin menghilangkan belang di kulit wajah.
  • Caranya: Anda dapat cukup mengambil jus jeruk secukupnya dengan memerasnya. Atau, Anda juga bisa mengambil bagian kulit jeruknya saja. Kedua cara ini dapat digunakan dengan cara yang sama, yaitu dioles ke bagian wajah sampai merata dan menyeluruh. Melakukannya sebelum tidur dan membiarkannya selama semalaman jauh lebih disarankan. Esok paginya baru Anda dapat membasuh wajah; pastikan cara ini dilakukan secara teratur.

animasi gambar bergerak

Minggu, 04 Februari 2018

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Daerah setingkat provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia

Periode I: 1945—1946[sunting | sunting sumber]

Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)[sunting | sunting sumber]

Tanggal 18[2][3] atau 19[4] Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya[2]. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi[4].

Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)[sunting | sunting sumber]

Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti[1]. Sebenarnya kedudukan Kootisendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci[5]. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quosampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman[4].Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan[6].

Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi[2], barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 Wikisource-logo.svg. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama[6].
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.

Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)[sunting | sunting sumber]


Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi[4]:
  1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
  2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
  3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
  4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
  5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi[4]:
  1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
  2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja[6]. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.

Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)[sunting | sunting sumber]

Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 Wikisource-logo.svg) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta[4][6]. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta[6].
Seiring dengan berjalannya waktu[2][6], berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).

Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)[sunting | sunting sumber]

Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah[2]:
  1. Kedudukan Yogyakarta
  2. Kekuasaan Pemerintahan
  3. Kedudukan kedua raja
  4. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
  5. Pemilihan Parlemen
  6. Keuangan
  7. Dewan Pertimbangan
  8. Perubahan
  9. Aturan Peralihan
  10. Aturan Tambahan

Periode II:1946 - 1950[sunting | sunting sumber]

Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)[sunting | sunting sumber]


Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946
Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 Wikisource-logo.svg)[2][6]. Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946[2]. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut[6].
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman)[6]. Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki[2][6] yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan[2].

Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)[sunting | sunting sumber]

Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 Wikisource-logo.svg).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.

Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)[sunting | sunting sumber]


Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX[6]. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemodiangkat menjadi Wali kota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Wali kota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I[2].

UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum[7][8] maupun penjelasannya[9][10]. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda[2]. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950[2].

Periode III: 1950 - 1965[sunting | sunting sumber]

Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)[sunting | sunting sumber]

Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.

Pembentukan DIY (1950)[sunting | sunting sumber]


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950
DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950dengan PP No. 31 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Provinsi[11]. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional[12].

Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)[sunting | sunting sumber]


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 Wikisource-logo.svg (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman(beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto(beribukota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 Wikisource-logo.svg (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.

Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)[sunting | sunting sumber]

Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya[2]. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP[2]. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.

Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY (1950an)[sunting | sunting sumber]

Perubahan yang cukup penting[12], pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota[12]. Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem)[2]. Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: MadiunPacitanTulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia[12].
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi[12].
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, dia tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi[2]. Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.

Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)[sunting | sunting sumber]

Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)[sunting | sunting sumber]

Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum[13][14]maupun penjelasannya[15]. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948)[16]. Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai 'metamorfosis' abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja[2].

Penyatuan Wilayah (1957-1958)[sunting | sunting sumber]


Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagarandilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 Wikisource-logo.svg(LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 Wikisource-logo.svg (LN 1958 No. 33, TLN 1562).

Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)[sunting | sunting sumber]

Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda[17]. Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.

Periode IV: 1965-1998[sunting | sunting sumber]

Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)[sunting | sunting sumber]

Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi [18] (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan[19]. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat[20]. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari [21]. Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.

Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)[sunting | sunting sumber]

Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis dia tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan[22]. Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980[4].

Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)[sunting | sunting sumber]

Berkas:Sultan Hamengku Buwono IX blackwhite.png
Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I DIY
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Dia wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa[23].
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former presidentPresiden Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung[23]. Beberapa bulan setelahnya dia menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).

Periode V: 1998-2008[sunting | sunting sumber]

Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)[sunting | sunting sumber]

Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003[23].
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun dia belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)[sunting | sunting sumber]

Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY[24]. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya .[25].
Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang[26].

Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)[sunting | sunting sumber]

Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002[27]. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah[27]. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).

Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)[sunting | sunting sumber]

Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir pada tahun 2003, kejadian pada tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.

Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2012])[sunting | sunting sumber]

Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus[28][29][30] seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua[31]. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya[27].

Periode VI (Peralihan): 2007 - sekarang (2012)[sunting | sunting sumber]

Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X[sunting | sunting sumber]


Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya
Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah[32] lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi untuk dipilih sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008[33].
Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi[34] (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso[34] pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
Bagi Roy Suryo[35] pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto[36] (Wali kota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
Warga Bantul[37] siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan[36].
Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta[38].

Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY[sunting | sunting sumber]

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas[38] pada 13 April 2007 menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung[39].
Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas[40] pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).

RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008)[sunting | sunting sumber]

Untuk mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I Dewan Perwakilan Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD perwakilan DIY) untuk menjaring aspirasi[41]. Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007[42]. Akhirnya pada 2 Juli 2007 diadakan uji sahih RUUK[43]. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo[44], tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir Thontowi. Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu kelompok dan Pemda (pemprov dan DPRD) di kelompok satunya.
Walaupun Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan kepada DPR[45], namun kenyataannya sampai Juni 2008 RUU Keistimewaan masih terkatung-katung di Setneg dan Depkumham[46]. Sementara itu DPD telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan RUU Perubahan Ketiga UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY[47]. RUU ini sudah diterima oleh Bamus DPR dan telah disetujui pada 6 Maret 2008 dalam surat bernomor TU.04/1871/DPR RI/III/2008 serta telah diserahkan ke Komisi II DPR untuk dibahas[46]. Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan maupun pro kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008 sekitar 10 ribu orang dari berbagai kabupaten di DIY menggelar “Sidang Rakyat” di halaman Gedung DPRD DIY. Acara tersebut pada intinya dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY segera menyelenggarakan Rapat Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik sesuai aspirasi masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat[48]. Sehari sebelumnya tanggal 24 juga terjadi aksi masa yang serupa. Menindak lanjuti berbagai aksi masa baik yang mendukung penetapan (baca: kubu konservatif) maupun yang mendukung pemilihan gubernur (baca: kubu liberal) Rapat Gabungan Pimpinan DPRD DIY pada 10 April 2008 sepakat untuk menggelar Rapat Paripurna Dewan yang direncanakan digelar 17 April 2008[49]. Setelah sempat tertunda DPRD DIY memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Akselerasi (percepatan) Keistimewaan Yogyakarta. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPRD DIY yang dipantau utusan Departemen Dalam Negeri pada 23 April 2008[50].
Secara substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat mengangkat kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun substansi RUUK belum selesai dirumuskan[51]. Sementara itu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menolak bicara soal usulan materi RUU Keistimewaan DIY. Selain ingin tetap berada di tengah, juga posisi kraton sudah tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu Sultan menegaskan, sejak Maklumat 5 September 1945, posisi kraton sudah menjadi bagian dari republik. Karena itu, kraton akan tunduk dengan perundang-undangan. Terkait dengan RUUK, memang bisa muncul pro dan kontra. Namun demikian aspirasi masyarakat harus dapat diperhatikan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat[52]. Pansus Percepatan RUU Keistimewaan DPRD DIY akhirnya menyelesaikan tugasnya pada 30 Juni 2008 dengan penyampaian laporan di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Rapat Paripurna DPRD DIY pun menyepakati (dengan catatan) rekomendasi Pansus menjadi Keputusan Politik Dewan yang antara lain mendesak Pemerintah Pusat agar menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY 2008-2013 dan agar mempercepat pembahasan RUU Keistimewaan DIY[53][54].
Akhirnya RUU Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri) kepada DPR RI pada pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas[55]. Sementara itu pihak Keraton Yogyakarta (baca: keluarga keraton/adik-adik Sultan) juga menyiapkan dan mengirimkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR RI sebagai bahan masukan di samping berbagai draf yang ada[56].

Beberapa pemikiran rakyat[sunting | sunting sumber]

Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta[sunting | sunting sumber]

Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh : Pertama, manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X menjadi gubernur yang tertuang dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61 pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan melakukan laku spiritual memohon petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak bersedia menjabat gubernur setelah periode kedua masa jabatannya berakhir 2008 (radar jogja, 29/9/10);
Kedua, setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2);
Ketiga, pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
Keempat, ketidak pahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI;
Kelima, perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;
Keenam, proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana wali kota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.

September - Oktober 2011[sunting | sunting sumber]

Masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah diperpanjang selama tiga tahun (2008-2011) kembali diperpanjang untuk kedua kalinya (2011-2012).

Mei - Agustus 2012[sunting | sunting sumber]

Pada 10 Mei 2012, Sultan Hamengku Buwono X, dengan didampingi Adipati Paku Alam IX mengeluarkan dekrit kerajaan "Sabdatama". Dekrit tersebut pada intinya berisi, antara lain, Sultan Yogyakarta yang bertahta menjadi Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur. Dekrit ini merupakan dekrit pertama yang dikeluarkan oleh Monarki Yogyakarta semenjak, terakhir, 30 Oktober 1945. Dengan dikeluarkannya dekrit ini sikap Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri agak melunak. Selain pengeluaran dekrit kerajaan terjadi pertemuan tertutup antara Sultan Yogyakarta dengan Presiden Republik Indonesia. Beberapa kesepahaman yang penting adalah menetapkan Sultan Yogyakarta yang bertahta sebagai Gubernur lima tahun sekali dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur lima tahun sekali. Selain itu disepakati bahwa Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta akan diselesaikan dan diundangkan sebelum masa perpanjangan jabatan pada Oktober 2012 selesai. Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI