Minggu, 14 Januari 2018

STASIUN TUA JUWANA SEBUAH NILAI SEJARAH


STASIUN TUA JUWANA SEBUAH NILAI SEJARAH
     
    Pada bagian depan dari stasiun tua yang sudah tak beroperasi ini terpasang papan peringatan bahwa bangunan ini adalah cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang dan berada di bawah pengawasan PT Kereta Api (Persero) – Daerah Operasi 4 Semarang. Artinya PT Kereta Api memiliki kesadaran bahwa bangunan tua ini harus dilindungi. Hal ini cukup penting untuk pelestarian bangunan ini. Bangunan tua ini terletak di sisi selatan dari Jalan Raya Pantai Utara, beberapa ratus meter dari alun-alun Juwana. Di jalan mengarah ke pelabuhan Juwana, masih tersisa rel kereta api yangtertanam di tanah, menghubungkan stasiun dengan pelabuhan Juwana.  
   
Stasiun tua Juwana berdiri di lahan pertanahan yang cukup luas milik PT Kereta Api, yang juga didiami oleh ratusan warga umum dengan status pengontrak pada PT Kereta Api. Sebagian dari wilayah itu, terutama lokasi dimana stasiun itu berada, terletak di RT 02 dengan ketua RT bapak Maryoto. Untuk mengurus uang kontrak tersebut ditugaskanlah seorang karyawan PT Kereta Api bernama bapak Wartono. Beliau mulai berdinas di situ pada tahun 1991, ketika stasiun telah ditutup. Beliau mulai berdinas di PJKA (nama lama PT Kereta Api) tahun 1952. Menurut beliau sejak Stasiun ditutup banyak bagian dari stasiun yang dijarah oleh orang-orang tak dikenal. Dari beliaulah didapat informasi bahwa mantan Kepala Stasiun Juwana, bapak Sukadi, tinggal tidak jauh dari rumah beliau.
Bapak Sukadi adalah mantan Kepala Stasiun Juwana yang terakhir, yaitu dari tahun 1979 – 1986. Menurut bapak Sukadi pada tahun sebelum ditutup, stasiun ini masih melayani jalur Rembang – Semarang. Jalur itu dilayani oleh lokomotif diesel berukuran kecil, karena merupakan lintasan pendek. Pada tahun 1986 itulah Stasiun Juwana berhenti beroperasi. Kini kondisinya bangunan yang terbuat dari kayu, masih cukup baik. Sayangnya di bagian bawah, selain besi rel dan batu peron sudah tak ada, beberapa bangunan sudah tak terawat, bahkan beberapa bagian telah dibongkar.
  

Kini di stasiun itu warga memanfaatkan sebagai tempat parkir dan tempat bermain bulu tangkis. Menurut keterangan stasiun ini menjadi tempat mengungsi bagi warga sekitar apabila rumahnya terkena musibah banjir yang kadang melanda daerah sekitarnya. Hal ini karena tanah dimana stasiun itu berdiri cukup tinggi sehingga tidak terkena banjir. Sementara di bekas ruang Kepala Stasiun digunakan untuk ruang kelas bagi sebuah playgroup (pendidikan anak usia dini - PAUD) milik kelurahan. Di bagian belakang dari kelas, terdapat dua buah ruang yang ditempati oleh dua keluarga.

Selain bangunan secara fisik, aset lain yang sangat berharga yang masih tersisa di salah satu ruangan dari stasiun Juwana adalah lemari besi peninggalan jaman Belanda yang berukuran besar. Tim Juwana Project berharap agar lemari besi itu dapat dirawat dan dipertahankan di stasiun Juwana dalam ruangan yang khusus disterilkan. Namun apabila hal itu tak memungkinkan alternatif keduanya adalah mengamankan lemari besi itu ke Stasiun Bandung.
     
Dari penelusuran tentang sejarah stasiun Juwana (dulunya Joana) itu, akhirnya dari seorang pencinta kereta api Indonesia, Deddy Herlambang, ditemukan hasil penelitian dan penulisannya. Berikut di bawah ini adalah salinan dari tulisan Deddy Herlambang, dengan sedikit penyuntingan:
Stasiun Juana adalah milik Samarang - Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) perusahaan swasta era Hindia-Belanda. Stasiun Joana (sekarang Juwana) ini mulai dibangun tahun 1884, diperbarui 1910 dengan material kayu jati untuk overcaping nya. Stasiun ini berada dilintas antara stasiun Pati dan Blora. Langgam bentuk stasiun SJS ini adalah 1 tipikal, bisa dilihat kesamaan ciri dari stasiun PatiJuana-Blora-Rembang-lasem-Cepu kota (bukan Cepu sekarang). Stasiun berhenti beroperasi sesuai ditutupnya lintas ini tahun 1986. SJS ini bukan merupakan lintas kereta api cepat namun kereta api bergandar rendah atau biasa disebut trem. Maka lokomotif dan keretanya kecil-kecil yang kecepatannya tidak bisa lebih dari 50 km per jam. Ukuran rel nya juga kecil, digunakan standar trem R25.
  


Dahulu kereta2 SJS digunakan untuk mengangkut penumpang pedesaan ditiap-tiap desa sambil menuju Semarang, hampir tiap desa dilalui oleh rel SJS. Saat kita merdeka lintas SJS diambil oleh RI menjadi milik DKA/PNKA/PJKA menjadi wilayah PNKA inspeksi 7 berkantor di Semarang. Tahun 1986 lintas ini ditutup karena tidak mampu bersaing dengan angkutan darat pedesaan saat itu, angkutan pedesaan dikuasai COLT 120 buatan Mitsubishi. Kantornya sendiri inspeksi 7 telah ditutup di Semarang tahun 1974, digabung dengan inspeksi 5 juga berkantor di Semarang juga. (Hasil Observasi Tim Juwana Project)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar